MargoyosoUpdate.com -
Karena tak memiliki tempat tinggal lagi, Sriyatun warga Desa
Doropayung, Juwana, Pati yang menjadi korban penggusuran normalisasi
Sungai Juwana terpaksa hidup menumpang di punden atau makam leluhur
desa. Meski kondisi tempatnya sangat tidak layak, janda tiga anak yang
masih kecil ini mencoba tetap bertahan hidup.
Di makam leluhur Desa Doropayung atau yang dikenal Punden
Baruklinting, Sriyatun tinggal selama tiga minggu terakhir. Hanya satu
ruang yang dimiliki yakni tempat tidur dari anyaman bambu. Ruang ini
ditempati berempat bersama tiga orang anaknya. Tak hanya untuk tidur,
satu-satunya ruang ini sekaligus untuk menyimpan seluruh barang miliknya
dari pakaian hingga panci dapur, sedangkan untuk mandi dan mencuci
Sriyati menempati tanah kebun di belakang rumah yang dibuat seadanya.
Untuk memasak alat masak yang dipakai bukanlah kompor gas seperti yang
dibagikan pemerintah beberapa waktu lalu, melainkan tumpukan batu bata
dengan bahan bakar kayu.
Karena ruangan yang tak layak, pada malam hari Sriyatun dan tiga
anaknya harus bertahan di tengah suhu dingin yang menusuk tulang. Jika
hujan turun, mereka terpaksa berlari ke masjid atau balai desa karena
limpahan air hujan masuk melalui atap maupun sela-sela dinding bambu.
Nasib tak jauh berbeda dialami Sumirah, janda umur 60 tahun. Namun
jika Sriyatun tinggal di punden desa, Sumirah bersama cucunya yang
masih berusia 10 bulan menumpang di teras rumah tetangga. Untuk tidur,
dia membuat sekat dari anyaman bambu. Sriyatun bersama sejumlah warga
yang terkena penggusuran proyek normalisasi Sungai Juwana memang pernah
mendapat santunan dari Pemkab Pati, namun jumlahnya hanya satu juta
sehingga tidak dapat dipakai untuk mencari tempat tinggal pengganti.
Keduanya hanya bisa pasrah dan berharap ada pihak termasuk para pejabat
pemerintah Kabupaten Pati untuk memikirkan nasib mereka. (Hasanuddin -
Pati)