Selama ini, Pancasila diyakini sebagai made in Indonesia
asli, produk pemikiran yang digali dari rahim bumi pertiwi. Kemudian,
berhasil dirumuskan sebagai ideologi dan falsafah bangsa oleh Bung
Karno, hingga menjadi rumusan seperti yang kita kenal sekarang.
Sebagai
peletak dasar negara Pancasila, Bung Karno sendiri mengaku, dalam
merumuskan ideologi kebangsaannya, banyak terpengaruh pemikiran dari
luar. Di depan sidang BPUPKI, Bung Karno mendeskripsikan pengakuannya:
“Pada
waktu saya berumur 16 tahun, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis
bernama A. Baars, yang memberi pelajaran pada saya, ‘jangan berpaham
kebangsaan, tapi berpahamlah rasa kemanusiaan sedunia”.
Tetapi
pada tahun 1918, kata Bung Karno selanjutnya, alhamdulillah ada orang
lain yang memperingatkan saya, yaitu Dr. Sun Yat Sen. Di dalam
tulisannya San Min Chu I atau The Three People’s Principles, saya
mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan A. Baars itu. Sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan di hati saya oleh pengaruh buku tersebut.”
Pengakuan
jujur Bung Karno ini membuktikan, sebenarnya Pancasila bukanlah produk
domistik yang orisinal, melainkan intervensi ideologi transnasional yang
dikemas dalam format domistik.
Sebagai gerakan zionisme internasional, freemasonry memiliki doktrin Khams Qanun yang diilhami Kitab Talmud. Yaitu, monoteisme (ketuhanan yang maha esa), nasionalisme (berbangsa, berbahasa, dan bertanah air satu Yahudi), humanisme (kemanusiaan yang adil dan beradab bagi Yahudi), demokrasi (dengan cahaya talmud suara terbanyak adalah suara tuhan), dan sosialisme (keadilan sosial bagi setiap orang Yahudi). (Syer Talmud Qaballa XI:45).
Tokoh-tokoh
pergerakan di Asia Tenggara juga merujuk pada Khams Qanun dalam
merumuskan dasar dan ideologi negaranya. Misalnya, tokoh China Dr. Sun
Yat Sen, seperti disebut Bung Karno, dasar dan ideologi negaranya
dikenal dengan San Min Chu I, terdiri dari: Mintsu, Min Chuan, Min
Sheng, nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme.
Asas
Katipunan Filipina yang dirumuskan oleh Andreas Bonifacio, 1893, dengan
sedikit penyesuaian terdiri dari : nasionalisme, demokrasi, ketuhanan,
sosialisme, humanisme. Begitupun, Pridi Banoyong dari Thaeland, 1932,
merumuskan dasar dan ideologi negaranya dengan prinsip: nasionalisme,
demokrasi, sosialisme, dan religius.
Sedangkan
Bung Karno, proklamator kemerdekaan Indonesia, pada mulanya merumuskan
ideologi dan dasar negara Indonesia yang disebut Panca Sila terdiri
dari: nasionalisme (kebangsaan), internasionalisme (kemanusiaan),
demokrasi (mufakat), sosialisme, dan ketuhanan.
Prinsip
indoktrinasi zionisme, memang cukup fleksibel. Dan fleksibilitasnya
terletak pada kemampuannya beradaptasi dengan pola pikir pimpinan
politik disetiap negara.
Pertanyaannya,
adakah kesamaan ideologi dari tokoh dan aktor politik di atas bersifat
kebetulan, atau memang berasal dari sumber yang sama, tapi dimainkan
oleh aktor-aktor politik yang berbeda?
Dalam
kaedah mantiq, dikenal istilah tasalsul, yaitu rangkaian yang
berkembang, mustahil kebetulan. Artinya, sesuatu yang berpengaruh pada
yang sesudahnya, pastilah bukan kebetulan.
Rumusan
Pancasila versi Bung Karno, memiliki kesamaan dengan doktrin zionisme
yang dijiwai Talmud. Sehingga, klaim Pancasila sebagai produk domistik
terbantahkan secara faktual.
Melestarikan
Pancasila seperti diwariskan kedua rezim di atas, berarti melestarikan
doktrin Yahudi, yang bertentangan dengan konstitusi negara. Dan tidak
konsisten dengan semangat kemerdekaan. Muqadimah UUD 1945, menyatakan
bahwa kemerdekaan Indonesia adalah berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.
Jogjakarta, 15 Mei 2011
Oleh Irfan S Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
Telah dimuat di majalah Gatra, 19 Mei 2011