Pada bagian depan dari stasiun tua yang sudah tak beroperasi ini
terpasang papan peringatan bahwa bangunan ini adalah cagar budaya yang
dilindungi Undang-Undang dan berada di bawah pengawasan PT Kereta Api
(Persero) – Daerah Operasi 4 Semarang. Artinya PT Kereta Api
memiliki kesadaran bahwa bangunan tua ini harus dilindungi. Hal ini
cukup penting untuk pelestarian bangunan ini. Bangunan tua ini terletak
di sisi selatan dari Jalan Raya Pantai Utara, beberapa ratus meter
dari alun-alun Juwana. Di jalan mengarah ke pelabuhan Juwana, masih
tersisa rel kereta api yangtertanam di tanah, menghubungkan stasiun
dengan pelabuhan Juwana.
Stasiun
tua Juwana berdiri di lahan pertanahan yang cukup luas milik PT Kereta
Api, yang juga didiami oleh ratusan warga umum dengan status pengontrak
pada PT Kereta Api. Sebagian dari wilayah itu, terutama lokasi dimana
stasiun itu berada, terletak di RT 02 dengan ketua RT bapak Maryoto.
Untuk mengurus uang kontrak tersebut ditugaskanlah seorang karyawan PT
Kereta Api bernama bapak Wartono. Beliau mulai berdinas di situ pada
tahun 1991, ketika stasiun telah ditutup. Beliau mulai berdinas di PJKA
(nama lama PT Kereta Api) tahun 1952. Menurut
beliau sejak Stasiun ditutup banyak bagian dari stasiun yang dijarah
oleh orang-orang tak dikenal. Dari beliaulah didapat informasi bahwa
mantan Kepala Stasiun Juwana, bapak Sukadi, tinggal tidak jauh dari
rumah beliau.
Bapak
Sukadi adalah mantan Kepala Stasiun Juwana yang terakhir, yaitu dari
tahun 1979 – 1986. Menurut bapak Sukadi pada tahun sebelum ditutup,
stasiun ini masih melayani jalur Rembang – Semarang. Jalur itu dilayani
oleh lokomotif diesel berukuran kecil, karena merupakan lintasan pendek.
Pada tahun 1986 itulah Stasiun Juwana berhenti beroperasi. Kini
kondisinya bangunan yang terbuat dari kayu, masih cukup baik. Sayangnya
di bagian bawah, selain besi rel dan batu peron sudah tak ada, beberapa
bangunan sudah tak terawat, bahkan beberapa bagian telah dibongkar.
Kini
di stasiun itu warga memanfaatkan sebagai tempat parkir dan tempat
bermain bulu tangkis. Menurut keterangan stasiun ini menjadi tempat
mengungsi bagi warga sekitar apabila rumahnya terkena musibah banjir
yang kadang melanda daerah sekitarnya. Hal ini karena tanah dimana
stasiun itu
berdiri cukup tinggi sehingga tidak terkena banjir. Sementara di bekas
ruang Kepala Stasiun digunakan untuk ruang kelas bagi sebuah playgroup
(pendidikan anak usia dini - PAUD) milik kelurahan. Di bagian belakang
dari kelas, terdapat dua buah ruang yang ditempati oleh dua keluarga.
Selain
bangunan secara fisik, aset lain yang sangat berharga yang masih
tersisa di salah satu ruangan dari stasiun Juwana adalah lemari besi
peninggalan jaman Belanda yang berukuran besar. Tim Juwana Project
berharap agar lemari besi itu dapat dirawat dan dipertahankan di stasiun
Juwana dalam
ruangan yang khusus disterilkan. Namun apabila hal itu tak memungkinkan
alternatif keduanya adalah mengamankan lemari besi itu ke Stasiun
Bandung.
Dari
penelusuran tentang sejarah stasiun Juwana (dulunya Joana) itu,
akhirnya dari seorang pencinta kereta api Indonesia, Deddy Herlambang,
ditemukan hasil penelitian dan penulisannya. Berikut di bawah ini adalah
salinan dari tulisan Deddy Herlambang, dengan sedikit penyuntingan:
Stasiun
Juana adalah milik Samarang - Joana Stoomtram Maatschappij (SJS)
perusahaan swasta era Hindia-Belanda. Stasiun Joana (sekarang Juwana)
ini mulai dibangun tahun 1884, diperbarui 1910 dengan material kayu jati
untuk overcaping nya. Stasiun ini berada dilintas antara stasiun Pati
dan Blora.
Langgam bentuk stasiun SJS ini adalah 1 tipikal, bisa dilihat kesamaan
ciri dari stasiun PatiJuana-Blora-Rembang-lasem-Cepu kota (bukan Cepu
sekarang). Stasiun berhenti beroperasi sesuai ditutupnya lintas ini
tahun 1986. SJS ini bukan merupakan lintas kereta api cepat namun kereta
api bergandar
rendah atau biasa disebut trem. Maka lokomotif dan keretanya
kecil-kecil yang kecepatannya tidak bisa lebih dari 50 km per jam.
Ukuran rel nya juga kecil, digunakan standar trem R25.
Dahulu
kereta2 SJS digunakan untuk mengangkut penumpang pedesaan ditiap-tiap
desa sambil menuju Semarang, hampir tiap desa dilalui oleh rel SJS. Saat
kita merdeka lintas SJS diambil oleh RI menjadi milik DKA/PNKA/PJKA
menjadi wilayah PNKA inspeksi 7 berkantor di Semarang. Tahun 1986 lintas
ini ditutup karena tidak mampu bersaing dengan angkutan darat pedesaan
saat itu, angkutan pedesaan dikuasai COLT 120 buatan Mitsubishi.
Kantornya sendiri inspeksi 7 telah ditutup di Semarang tahun 1974,
digabung dengan inspeksi 5 juga berkantor di Semarang juga. (Hasil Observasi Tim Juwana Project)